Tugas
Teori Organisasi
PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP KEPUASAN KERJA
DAN KINERJA DENGAN KOMITMEN ORGANISASI

OLEH
:
MUHAMMAD KHOLIL JAYA
B1B114227
MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS
HALUOLEO
KENDARI
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perubahan
lingkungan organisasi yang semakin kompleks dan kompetitif, menuntut setiap
organisasi dan perusahaan untuk bersikap lebih responsif agar sanggup bertahan
dan terus berkembang. Untuk mendukung perubahan organisasi tersebut, maka diperlukan
adanya perubahan individu. Proses menyelaraskan perubahan organisasi dengan perubahan
individu ini tidaklah mudah. Pemimpin sebagai panutan dalam organisasi,
sehingga perubahan harus dimulai dari tingkat yang paling atas yaitu pemimpin
itu sendiri. Maka dari itu, organisasi memerlukan pemimpin reformis yang mampu
menjadi motor penggerak yang mendorong perubahan organisasi.
Sampai saat
ini, kepemimpinan masih menjadi topik yang menarik untuk dikaji dan diteleti,
karena paling sering diamati namun merupakan fenomena yang sedikit dipahami.
Fenomena gaya kepemimpinan di Indonesia menjadi sebuah masalah menarik dan
berpengaruh besar dalam kehidupan politik dan bernegara. Dalam dunia bisnis,
gaya kepemimpinan berpengaruh kuat terhadap jalannya organisasi dan
kelangsungan hidup organisasi. Peran kepemimpinan sangat strategis dan penting
dalam sebuah organisasi sebagai salah satu penentu keberhasilan dalam
pencapaian misi, visi dan tujuan suatu organisasi. Maka dari itu, tantangan
dalam mengembangkan strategi organisasi yang jelas terutama terletak pada
organisasi di satu sisi dan tergantung pada kepemimpinan (Porter,1996 :dalam
Sunarsih, 2001).
Begitu pentingnya
peran kepemimpinan dalam sebuah organisasi menjadi fokus yang menarik perhatian
para peneliti bidang perilaku keorganisasian. Bass (1990) menyatakan bahwa
kualitas dari pemimpin sering kali dianggap sebagai faktor terpenting yang
menentukan keberhasilan atau kegagalan organisasi.Schein (1992), Nahavandi
& Malekzadeh (1993) serta Kouzes & Posner (1987) juga menyatakan bahwa
pimpinan mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan organisasi. Porter
(1996) dalam Sunarsih (2001). Green Berg dan Baron (2000 : 444) dalam Sunarsih
(2001) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan suatu unsur kunci dalam keefektifan
organisasi.
Seiring
dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin cepat dan perekonomian
Indonesia yang kurang stabil, hal ini bisa saja menjadi sumber,kendala organisasi
namun bisa juga menjadi sumber keuntungan organisasi. Kepemimpinan yang efektif
bisa membantu organisasi untuk bisa bertahan dalam situasi ketidakpastian di
masa datang (Katz and Khan 1978; Koh et al. 1995;Mowday et al. 1982). Seorang
pemimpin yang efektif harus tanggap terhadap perubahan, mampu menganalisis
kekuatan dan kelemahan sumber daya manusianya sehingga mampu memaksimalkan
kinerja organisasi dan memecahkan masalah dengan tepat. Pemimpin yang efektif
sanggup mempengaruhi para pengikutnya untuk mempunyai optimisme yang lebih
besar,rasa percaya diri, serta komitmen kepada tujuan dan misi organisasi (Gary
Yukl, 1994). Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap pemimpin berkewajiban untuk
memberikan perhatian sungguh-sungguh dalam membina, menggerakkan dan
mengarahkan seluruh potensi karyawan di lingkungannya agar dapat mewujudkan
stabilitas organisasi dan peningkatan produktivitas yang berorientasi pada
tujuan organisasi.
Model
kepemimpinan modern seperti kepemimpinan transformasional memainkan peranan
penting bagi organisasi. Bass (1985) dalam Sunarsih (2001) mendefinisikan bahwa
kepemimpinan transformasional sebagai pemimpin yang mempunyai kekuatan untuk
mempengaruhi bawahan dengan cara-cara tertentu.Bawahan merasa percaya, kagum,
loyal dan hormat terhadap atasannya sehingga bawahan termotivasi untuk berbuat
lebih banyak dari pada apa yang biasan dilakukan dan diharapkannya. Jung dan
Avolio (1999) dalam Sunarsih (2001) juga menyatakan bahwa kepemimpinan
transformasional meliputi pengembangan hubungan yang lebih dekat antara
pemimpin dengan pengikutnya, bukan hanya sekedar sebuah perjanjian tetapi lebih
didasarkan kepada kepercayaan dan komitmen. Kepemimpinan transformasional pada
prinsipnya memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik dari apa yang biasa
dilakukan, dengan kata lain dapat meningkatkan kepercayaan atau keyakinan diri
bawahan yang akan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja.
Kepemimpinan
adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan dengan
antusias (David, Keith, 1985). Seorang pemimpin harus mampu mempengaruhi para
bawahannya untuk bertindak sesuai dengan visi, misi dan tujuan perusahaan.
Pemimpin harus mampu memberikan wawasan,membangkitkan kebanggaan, serta
menumbuhkan sikap hormat dan kepercayaan dari bawahannya.
Pemimpin
yang efektif adalah pemimpin yang mengakui kekuatankekuatan penting yang
terkandung dalam individu. Setiap individu memiliki kebutuhan dan keinginan
yang berbeda-beda. Setiap individu memiliki tingkat keahlian yang berbeda-beda
pula. Pemimpin harus fleksibel dalam pemahaman segala potensi yang dimiliki
oleh individu dan berbagai permasalahan yang dihadapai individu tersebut.
Dengan melakukan pendekatan tersebut, pemimpin dapat menerapkan segala
peraturan dan kebijakan organisasi serta melimpahkan tugas dan tanggung jawab
dengan tepat. Hal ini sejalan dengan usaha untuk menumbuhkan komitmen
organisasi dari diri karyawan. Sehingga pemimpin nantinya dapat meningkatkan
kepuasan karyawan terhadap pekerjaannya serta dapat meningkatkan kinerja
karyawan dengan lebih efektif.
Pada
dasrnya karyawan yang puas terhadap pekerjaanya akan cenderung memiliki kinerja
yang tinggi pula. Miller et.al.,(1991) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan
mempunyai hubungan yang positif terhadap kepuasan kerja para pegawai. Hasil
penelitian Gruenberg (1980) diperoleh bahwa hubungan yang akrab dan saling tolong-menolong
dengan teman kerja serta penyelia adalah sangat penting dan memiliki hubungan
kuat dengan kepuasan kerja dan tidak ada kaitannya dengan keadaan tempat kerja
serta jenis pekerjaan. Teori Path-Goal(Evans, 1970; House, 1971; House & Mitchell,
1974 dalam Yulk, 1989) mengatakan bahwa pemimpin mendorong kinerja yang lebih
tinggi dengan cara memberikan kegiatan-kegiatanyang mepengaruhi bawahannya agar
percaya bahwa hasil yang berharga bisa dicapai dengan usaha yang serius.
Kepemimpinan yang berlaku secara
universal menghasilkan tingkat kinerja dan kepuasan
bawahan yang tinggi.
Kepuasan
kerja pada dasarnya adalah tentang apa yang membuat seseorang bahagia dalam
pekerjaannya atau keluar dari pekerjaanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja pegawai secara signifikan
adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri, dengan
kondisi kerja, dengan pimpinan, dengan rekan kerja, dengan pengawasan, dengan promosi
jabatan dan dengan gaji.
Pinder
(1984) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan ketidakpuasan kerja
ialah sifat penyelia yang tidak mau mendengar keluhan dan pandangan pekerja dan
mau membantu apabila diperlukan. Blakely (1993) membuktikan bahwa pekerja yang
menerima penghargaan dari penyelia yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penilaian mereka sendiri akan lebih puas. Sumber ketidakpuasan kerja yang lain
adalah sistem imbalan yang dianggap tidak adil menurut persepsi pegawai. Gaji
yang diterima oleh setiap karyawan mencerminkan perbedaan tanggung jawab, pengalaman,
kecakapan maupun senioritas. Selain itu, sistem karir yang tidak jelas serta
perlakuan yang tidak sama dalam reward maupun punishment juga
merupakan sumber ketidakpuasan pegawai, Tidak adanya penghargaan atas
pengalaman dan keahlian serta jenjang karir dan promosi yang tidak dirancang
dengan benar dapat menimbulkan sikap apatis dalam bekerja karena tidak
memberikan harapan lebih baik di masa depan.
Kinerja
pegawai tidak lepas dari peran pemimpinnya. menurut Bass(1990), peran
kepemimpinan atasan dalam memberikan kontribusi padakaryawan untuk pencapaian
kinerja yang optimal dilakukan melalui lima cara,
yaitu :
1)
pemimpin
mengklarifikasi apa yang diharapkan dari karyawannya,secara khusus tujuan dan
sasaran dari kinerja mereka,
2)
pemimpin
menjelaskanbagaimana memenuhi harapan tersebut,
3)
pemimpin
mengemukakan kriteriadalam melakukan evaluasi dari kinerja secara efektif,
4)
pemimpin memberikan umpan balik ketika
karyawan telah mencapai sasaran, dan
5)
Pemimpin
mengalokasikan imbalan berdasarkan hasil yang telah mereka capai.
Komitmen
organisasi menjadi perhatian penting dalam banyak penelitiankarena memberikan dampak signifikan terhadap
perilaku kerja seperti kinerja, kepuasan kerja, absensi karyawan dan juga turn
over karyawan. Komitmen dalam organisasi akan membuat pekerja memberikan
yang terbaik kepada organisasi tempat dia bekerja. Van Scooter (2000)
menyatakan bahwa pekerja dengan komitmen yang tinggi akan lebih berorientasi
pada kerja. Disebutkan pula bahwa pekerja yang memiliki komitmen organisasi
tinggi akan cenderung senang membantu dan dapat bekerja sama. Komitmen
organisasi didefinisikan oleh Luthans (1995) sebagai sikap yang menunjukkan
loyalitas karyawan dan merupakan proses berkelanjutan bagaimana seorang anggota
organisasi mengekspresikan perhatian mereka kepada kesuksesan dan kebaikan
organisasinya. Lebih lanjut sikap loyalitas ini
diindikasikan dengan tiga hal, yaitu :
1)
keinginan
kuat seseorang untuk tetap menjadi anggota organisasinya,
2)
kemauan
untuk mengerahkan usahanya untuk organisasinya,
3)
keyakinan
dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.
Karyawan
yang mempunyai keterlibatan tinggi dalam bekerja dan tidak mempunyai keinginan
keluar dari perusahaan, maka hal ini merupakan modal dasar untuk mendorong
produktifitas yang tinggi. Moncreif (1997) mengungkapkan bahwa komitmen
karyawan terhadap organisasi yang tinggi akan berpengaruh terhadap kinerja
karyawan. Komitmen organisasi berkaitan dengan sikap seseorang yang berhubungan
dengan organisasi tempat mereka bergabung. Sikap ini berkaitan dengan persepsi
tujuan organisasi dan keterlibatannya dalam melaksanakan kerja.
Apabila
komitmen seseorang tinggi maka kinerjanya akan menjadi lebih baik.
Sedangkan kepuasan kerja merupakan
sikap dari seseorang berkaitan dengan apa
yang diterimanya sebagai akibat
pekerjaan yang telah dilakukan. Maka dari itu semakin tinggi komitmen seorang
karyawan terhadap organisasinya maka akan semakin tinggi pula kinerjanya dan
kepuasan seseorang terhadap pekerjaannya.
B.
Rumusan Masalah
Permasalahan
sumber daya manusia dalam organisasi pada dasarnya merupakan masalah yang
rumit karena menyangkut masalah individu. Setiap individu mempunyai kebutuhan
dan keinginan yang berbeda-beda, tidak banyak orang yang mendapatkan
kepuasan atas kompensasi dan penghargaan yang mereka harapkan, tidak
banyak pula orang yang mempunyai kesempatan mengekspresikan diri dan merasakan
kebebasan atas kendali yang dinikmati saat dia bekerja.Permasalahan-permasalahan
individu dalam organisasi seperti itulah yang harus menjadi perhatian
dari seorang pemimpin. Pemimpin yang efektif yaitu pemimpin yang
mengakui kekuatan-kekuatan penting yang terkandung dalam individu atau
kelompok. Fleksibilitas pemimpin dalam pendekatan terhadap
masalah-masalah individu ini nantinya
dapat menjadi dasar untuk mengoptimalkan kinerja serta merancang sistem
organisasi yang lebih baik. Untuk mencapai hal tersebut seorang
pemimpin harus mampu memaksimalkan
potensi setiap karyawannya, menjadi panutan dan memberi semangat Wilayah
pemasaran yang dibagi menjadi beberapa cabang otomatis tidak mampu jika hanya
dikendalikan satu orang pemimpin. Adanya pendelegasian wewenang dan tanggung
jawab akan memudahkan tugas pemimpin dalam pengendalian kinerja.
Peran
seorang pemimpin adalah menciptakan semangat dan gairah kerja seluruh
pegawainya. Pemimpin juga harus bisa menjelaskan visi dan misi organisasi
dengan baik dan mengarahkan pegawai-pegawainya kepada tujuan yang jelas.
Seorang pemimpin harus bisa menyampaikan tugas dan target dengan jelas, menjadi
teladan dan inspirasi, menciptakan suasana kerja yang menyenangkan, menerima
keluhan dan berdiskusi, memberi otonomi dan memotivasi karyawan-karyawannya
untuk terus maju. Dengan demikian pemimpin mampu mencetak karyawan yang
kreatif, mencintai pekerjaanya serta
loyal terhadap organisasi. Pemimpin
seperti ini nantinya juga dapat mengkontrol
bagaimana kinerja para pegawainya
serta menanggulangi berbagai hambatannya.
Seorang
pemimpin harus dapat memahami permasalahan individu, menumbuhkan kepercayaan
dari pengikutnya, memberikan wawasan dan mejadi teladan yang akan berpengaruh
positif terhadap perilaku kerja karyawan. Selain itu, komitmen organisasi
sekarang ini juga mendapat perhatian lebih karena memiliki dampak yang
signifikan terhadap perilaku kerja seperti kinerja, kepuasan kerja, absensi
karyawan dan juga turn over karyawan. Pemimpin harus mampu memahami
kebutuhan setiap karyawannya, memotivasi serta melakukan pemberdayaan secara
tepat, sehingga akan sejalan dengan pembentukan
komitmen organisasi karyawannya. Dengan
adanya gaya kepemimpinan yang tepat dan didukung komitmen organisasi yang kuat
dari para karyawan diharapkan dapat berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja
dan kinerja karyawan.
Dengan
demikian, berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi rumusan
masalah pada penelitian ini adalah:
1)
Bagaimana
pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja dan terhadap kinerja?
2)
Bagaimana pengaruh komitmen organisasi
terhadap kepuasan kerja dan terhadap kinerja?
3)
Bagaimana
pengaruh komitmen organisasi sebagai pemediasi hubungan antara gaya
kepemimpinan terhadap kepuasan kerja dan terhadap kinerja?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan karya ilmiah ini adalah untuk
mengetahui pengaruh perilaku
kepemimpinan terhadap kepuasan kerja
dan kinerja karyawan dengan komitmen organisasi
suatu perusahaan.
D.
Manfaat Penulisan
Adapun
manfaat dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1)
Karya
ilmiah ini di harapkan dapat memberi pengetahuan untuk bagaimana dapat
meningkatkan kinerja dan kepuasan kerja karyawannya terutama dengan menggunakan
gaya kepemimpinan dan menciptakan komitmen organisasi dengan tepat.
2)
Karya
ilmiah ini diharapkan dapat melengkapi bahan penulisan selanjutnya dalam rangka
menambah khasanah akademik sehingga berguna untuk pengembangan ilmu, khususnya
bidang Manajemen Sumber Daya Manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Gaya
Kepemimpinan
Gaya
kepemimpinan pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan
tingkah laku dari seorang pemimpin yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin.
Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Pengertian
gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan
oleh Davis dan Newstrom (1995) yang menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin
secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan. Gaya
kepemimpinan mewakili filsafat, ketrampilan, dan sikap pemimpin dalam politik.
Gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan
tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai tujuan tertentu
(Heidjrachman dan Husnan, 2002:224). Sedangkan menurut Tjiptono (2001:161),
gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan pemimpin dalam berinteraksi
dengan bawahannya. Pendapat lain menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola
tingkah laku (kata-kata dan tindakan-tindakan) dari seorang pemimpin yang
dirasakan oleh orang lain (Hersey, 2004:29).
B.
Teori
Kepemimpinan
Gaya
kepemimpinan dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan melalui
tiga aliran teori sebagai berikut :
1)
Teori
Genetis
(Keturunan)Inti
dari teori ini menyatakan bahwa “leader are born and not made”(pemimpin
itu dilahirkan sebagai bakat dan bukannya dibuat).
2)
Teori
Sosial
Jika
teori pertama di atas adalah teori yang ekstrim pada satu sisi, maka teori inipun
merupakan ekstrim pada sisi lainnya. Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa “leader
are made and not born” (pemimpin itu dibuat atau dididik dan bukannya
kodrati).
3)
Teori
Ekologis
Kedua
teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya mengandung kebenaran, maka sebagai
reaksi terhadap kedua teori tersebut timbullah aliran teori ketiga. Teori yang
disebut teori ekologis ini pada intinya berarti bahwa seseorang hanya akan berhasil
menjadi pemimpin yang baik apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan.
C.
Kinerja
Secara
etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja (performance). Sebagaimana
dikemukakan oleh Mangkunegara (2005:67) bahwa istilah kinerja berasal dari kata
job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi
sesungguhnya yang dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas
yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Lebih lanjut Mangkunegara(2005:75)
menyatakan bahwa pada umumnya kinerja dibedakan menjadi dua, yaitu kinerja
individu dan kinerja organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik
dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan,
sedangkan kinerja organisasi adalah gabungan dari kinerja individu dengan
kinerja kelompok.
Ventrakaman
dan Ramanujam (1986: 801-814) menjelaskan kinerja sebagai
refleksi dari pencapaian keberhasilan
perusahaan yang dapat dijadikan sebagai hasil yang telah dicapai dari berbagai
aktivitas yang dilakukan. Pendapat lain dikemukakan oleh Waterhouse dan
Svendsen(1998:59) yang mendefinisikan kinerja sebagai tindakan-tindakan atau
kegiatan yang dapat diukur. Selanjutnya kinerja merupakan refleksi dari
pencapaian kuantitas dan kualitas pekerjaan yang dihasilkan individu, kelompok,
atau organisasi dan dapat diukur. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh
Wells dan Spinks (1996: 30) bahwa kinerja menunjukkan hasilhasil perilaku yang
bernilai dengan kriteria atau standar mutu. Mathis dan Jackson (2006:378),
mendefinisikan bahwa kinerja pada dasarnya
adalah apa yang dilakukan dan tidak
dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah
yang mempengaruhi seberapa banyak
mereka memberikan kontribusi kepada organisasi yang antara lain termasuk (1)
kuantitas keluaran, (2) kualitas keluaran, (3) jangka waktu keluaran, (4)
kehadiran di tempat kerja, (5) Sikap kooperatif.
Berdasarkan
beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan hasil kerja
yang dapat dicapai pegawai dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan
tanggung jawab yang diberikan organisasi dalam upaya mencapai visi, misi, dan
tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai
dengan moral maupun etika.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Kinerja
Menurut
Atmosoeprapto (2001: 58), kinerja adalah perbandingan antara keluaran (ouput)
yang dicapai dengan masukan (input) yang diberikan. Selain itu, kinerja
juga merupakan hasil dari efisiensi pengelolaan masukan dan efektivitas pencapaian
sasaran. Oleh karena itu, efektivitas dan efisiensi pekerjaan yang tinggi akan
menghasilkan kinerja yang tinggi pula. Untuk memperoleh kinerja yang tinggi dibutuhkan
sikap mental yang memiliki pandangan jauh ke depan. Seseorang harus mempunyai sikap
optimis, bahwa kualitas hidup dan kehidupan hari esok lebih baik dari hari ini.
Sedangkan menurut menurut Sulistiyani dan Rosidah (2003: 223), penilaian
kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha, dan kesempatan
yang dapat dinilai dari hasil kerjanya.
Pendapat
lainnya dikemukakan oleh Furtwengler (2002: 79) yang mengemukakan bahwa untuk
meningkatkan kinerja pegawai, maka organisasi perlu melakukan perbaikan
kinerja. Adapun perbaikan kinerja yang perlu diperhatikan oleh organisasi adalah
faktor kecepatan, kualitas, layanan, dan nilai. Selain keempat faktor tersebut,
juga terdapat faktor lainnya yang turut mempengaruhi kinerja pegawai, yaitu
ketrampilan interpersonal, mental untuk sukses, terbuka untuk berubah,
kreativitas, trampil berkomunikasi, inisiatif, serta
kemampuan dalam merencanakan dan
mengorganisir kegiatan yang menjadi tugasnya. Faktor-faktor tersebut memang
tidak langsung berhubungan dengan pekerjaan, namun memiliki bobot pengaruh yang
sama. Sedangkan Hinggins yang dikuti oleh Umar (2005: 64) mengindentifikasi
adanya beberapa variabel yang berkaitan erat dengan kinerja, yaitu mutu
pekerjaan, kejujuran pegawai, inisiatif, kehadiran, sikap, kerjasama,
kehandalan, pengetahuan tentang pekerjaan, tanggung jawab dan pemanfaatan waktu.
Menurut Rivai (2005: 324), dalam menilai kinerja seorang pegawai, maka diperlukan
berbagai aspek penilaian antara lain pengetahuan tentang pekerjaan, kepemimpinan
inisiatif, kualitas pekerjaan, kerjasama, pengambilan keputusan, kreativitas,
dapat diandalkan, perencanaan, komunikasi, inteligensi (kecerdasan),pemecahan
masalah, pendelegasian, sikap, usaha, motivasi, dan organisasi.
Selanjutnya,
dari aspek-aspek penilaian kinerja yang dinilai tersebut selanjutnya
dikelompokkan menjadi :
a.
Kemampuan
teknis, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik, dan peralatan
yang digunakan untuk melaksanakan tugas serta pengalaman dan pelatihan yang
diperolehnya.
b.
Kemampuan
konseptual, yaitu kemampuan untuk memahami kompleksitas perusahaan dan
penyesuaian bidang gerak dari unit masing-masing ke bidang operasional
perusahaan secara menyeluruh. Pada intinya setiap individu atau karyawan pada
setiap perusahaan memahami tugas, fungsi serta tanggungjwabnya sebagai seorang
karyawan.
c.
Kemampuan
hubungan interpersonal, yaitu antara lain kemapuan untuk bekerja sama dengan
orang lain, memotivasi karyawan, melakukan negosiasi, dan lain-lain.
Menurut
Bernardin and Russel (1993: 382) terdapat 6 kriteria untuk menilai kinerja
karyawan, yaitu:
a.
Quality
yaitu Tingkatan
dimana proses atau penyesuaian pada cara yang ideal di dalam melakukan
aktifitas atau memenuhi aktifitas yang sesuai harapan.
b.
Quantity
yaitu Jumlah yang
dihasilkan diwujudkan melalui nilai mata uang, jumlah unit, atau jumlah dari
siklus aktifitas yang telah diselesaikan.
c.
Timeliness
yaitu Tingkatan di
mana aktifitas telah diselesaikan dengan waktu yang lebih cepat dari yang
ditentukan dan memaksimalkan waktu yang ada untuk aktifitas lain.
d.
Cost
effectiveness yaitu Tingkatan
dimana penggunaan sumber daya perusahaan berupa manusia, keuangan, dan
teknologi dimaksimalkan untuk mendapatkan hasil yang tertinggi atau pengurangan
kerugian dari tiap unit.
e.
Need
for supervision yaitu Tingkatan
dimana seorang karyawan dapat melakukan pekerjaannya tanpa perlu meminta
pertolongan atau bimbingan dari atasannya.
f.
Interpersonal
impact yaitu Tingkatan
di mana seorang karyawan merasa percaya diri, punya keinginan yang baik, dan
bekerja sama di antara rekan kerja.
Pendapat
lain dikemukakan oleh Dessler (2000: 514-516) yang menyatakan bahwa dalam
melakukan penilaian terhadap kinerja para pegawai, maka harus diperhatikan 5
(lima) faktor penilaian kinerja yaitu :
1.
Kualitas
pekerjaan meliputi : akurasi, ketelitian, penampilan dan penerimaan keluaran.
2.
Kuantitas
pekerjaan meliputi : volume keluaran dan kontribusi.
3.
Supervisi
yang diperlukan meliputi : membutuhkan saran, arahan, atauperbaikan
4.
Kehadiran
meliputi : regularitas, dapat dipercayai/diandalkan dan ketepatan waktu.
5.
Konservasi
meliputi : pencegahan, pemborosan, kerusakan, pemeliharaan peralatan.
Pendapat
Bernardin and Russel di atas hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Dessler.
Dimana ketiganya menitikberatkan pada kualitas, kuantitas kerja yang dihasilkan
anggota organisasi. Selain itu juga pada pengawasan, karakter personal pegawai,
dan kehadiran. Seorang pegawai yang mempunyai ciriciri faktor yang baik seperti
yang dikemukakan di atas, maka dapat dipastikan kinerja yang hasilkan akan
lebih baik.
D.
Kepuasan
Kerja
Aktivitas
hidup manusia beraneka ragam dan salah satu bentuk dari segala aktivitas yang
ada adalah bekerja. Bekerja memiliki arti melaksanakan suatu tugas yang
diakhiri dengan buah karya yang dapat dinikmati oleh manusia yang bersangkutan
(Moh.As’ad. 1987: 45). Hal ini didorong oleh keinginan manusia untuk memenuhi
adanya kebutuhan yang harus dipenuhi. Kepuasan kerja adalah suasana psikologis
tentang perasaan menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap pekerjaan mereka
(Davis, Keith, 1985).
Sementara itu Porter dan Lawler dalam
Bavendam, J. (2000) menjelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan bangunan
unidimensional, dimana seseorang memiliki kepuasan umum atau ketidakpuasan
dengan pekerjaannya. Vroom sebagaimana dikutip oleh Ahmad, M.A. Roshidi (1999)
mendefinisikan kepuasan kerja sebagai satu acuan dari orientasi yang efektif
seseorang pegawai terhadap peranan mereka pada jabatan yang dipegangnya saat
ini. Sikap yang positif terhadap pekerjaan secara konsepsi dapat dinyatakan
sebagai kepuasan kerja dan sikap negatif terhadap pekerjaan sama dengan
ketidakpuasan. Definisi ini telah mendapat dukungan dari Smith dan Kendall
(1963) yang menjelaskan bahwa kepuasan kerja sebagai perasaan seseorang pegawai
mengenai pekerjaannya. Secara sederhana, job satisfaction dapat diartikan
sebagai apa yang membuat orang-orang menginginkan dan menyenangi pekerjaan. Apa
yang membuat mereka bahagia dalam pekerjaannya atau keluar dari pekerjaanya,
menurut Robin dalam Siahaan, E.E. Dalam kutipan Moh. As’ad yang terdapat pada
buku Psikologi Industri (2000:104), Joseph Tiffin mendefinisikan kepuasan kerja
adalah sikap karyawan terhadap pekerjaan, situasi kerja, kerjasama diantara
pimpinan dan sesama karyawan dan M.L Blum mendefinisikan kepuasan kerja adalah
suatu sikap yang umum sebagai hasil dari berbagai sifat khusus individu
terhadap faktor kerja, karakteristik individu dan hubungan sosial individu di
luar pekerjaan itu sendiri.
Susilo
Martoyo (1990) menyebutkan bahwa kepuasan kerja merupakan keadaan emosional
karyawan dimana terjadi atau tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa
kerja karyawan dari perusahaan atau organisasi dengan tingkat nilai balas jasa
yang memang diinginkanuntuk karyawan yang bersangkutan. Sedangkan Edison (2002)
menyebutkan sumber kepuasan kerja terdiri atas pekerjaan yang menantang,
imbalan yang sesuai, kondisi/ lingkungan kerja yang mendukung, dan rekan kerja
yang mendukung. Indra, Hary dalam penelitiannya menyebutkan bahwa faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja pegawai secara signifikan adalah : faktor yang
berhubungan dengan pekerjaan, dengan kondisi kerja, dengan teman sekerja,
dengan pengawasan, dengan promosi jabatan dan dengan gaji.
Smith,
Kendal dan Hulin dalam Bavendam, J. (2000) mengungkapkan bahwa kepuasan kerja
bersifat multidimensi dimana seseorang merasa lebih atau kurang puas dengan
pekerjaannya, supervisornya, tempat kerjanya dan sebagainya. Porter dan Lawler
seperti juga dikutip oleh Bavendam, J. (2000) telah membuat diagram kepuasan
kerja yang menggambarkan kepuasan kerja sebagai respon emosional orang-orang
atas kondisi pekerjaannya. Kepuasan kerja bersifat multidimensional maka
kepuasan kerja dapat mewakili sikap secara menyeluruh (kepuasan umum) maupun
mengacu pada bagian pekerjaan seseorang. Artinya jika secara umum mencerminkan
kepuasannya sangat tinggi tetapi dapat saja seseorang akan merasa tidak puas
dengan salah satu atau beberapa aspek saja misalnya jadwal liburan (Davis,
Keith. 1985). Konsekuensi dari kepuasan kerja dapat berupa meningkat atau menurunnya
prestasi kerja pegawai, pergantian pegawai (turnover), kemangkiran,atau
pencurian (Davis, Keith, 1985).
Faktor-faktor
yang mempengaruhi Kepuasan Kerja
Ada lima
aspek yang terdapat dalam kepuasan kerja, antara lain yaitu :
1.
Pekerjaan
itu sendiri (work it self), setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan
tertentu sesuai dengan bidang nya masing-masing. Sukar tidaknya suatu pekerjaan
serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan
tersebut, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerja.
2.
Atasan
(supervision), atasan yang baik berarti mau menghargai pekerjaan bawahannya.
Bagi bawahan, atasan bisa dianggap sebagai figur ayah/ibu/teman dan sekaligus
atasannya.
3.
Teman
sekerja (workers), merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan
antara pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lain, baik yang sama maupun
yang berbeda jenis pekerjaannya.
4.
Promosi
(promotion), merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya
kesempatan untuk memperoleh peningkatan karier selama bekerja.
5.
Gaji
atau upah (pay), merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang
dianggap layak atau tidak.
Sedangkan
aspek-aspek lain yang terdapat dalam kepuasan kerja :
1.
Kerja
yang secara mental menantang.
Kebanyakan
karyawan menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi merek kesempatan untuk
menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan
menawarkan
tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan.
Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang terlalu
kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi terlalu banyak menantang
menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang,
kebanyakan karyawan akan mengalamai kesenangan dan kepuasan.
2.
Ganjaran
yang pantas.
Para
karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan
sebagai adil,dan segaris dengan pengharapan mereka. Pemberian upah yang baik
didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar
pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. Tidak semua
orang mengejar uang, banyak orang bersedia menerima baik uang yang lebih kecil
untuk bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang
kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam kerja yang
mereka lakukan dan jam-jam kerja. Tetapi kunci yang manakutkan upah dengan kepuasan
bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan; yang lebih penting adalah persepsi
keadilan. Serupa pula karyawan berusaha mendapatkan kebijakan dan praktik
promosi yang lebih banyak, dan status sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu
individu-individu yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dalam cara
yang adil (fair and just) kemungkinan besar akan mengalami kepuasan dari
pekerjaan mereka.
3.
Kondisi
kerja yang mendukung.
Karyawan
peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk
memudahkan mengerjakan tugas. Studi-studi memperagakan bahwa karyawan lebih
menyukai keadaan sekitar fisik yang tidak berbahaya atau merepotkan. Temperatur
(suhu), cahaya, kebisingan, dan faktor lingkungan lain seharusnya tidak esktrem
(terlalu banyak atau sedikit).
4.
Rekan
kerja yang mendukung.
Orang-orang
ingin mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi yang berwujud dari
pekerjaan yang mereka lakukan. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi
kebutuhan akan sosial. Oleh karena itu bila mereka mempunyai rekan sekerja yang
ramah dan menyenangkan, maka akan dapat meningkatkan kepuasan kerja. Tetapi
perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan.
5.
Kesesuaian
kepribadian dengan pekerjaan, pada hakikatnya orang yang tipe kepribadiannya
kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih seharusnya
mendapatkan bahwa mereka mempunyai bakat dan kemampuan yang tepat untuk
memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka. Dengan demikian akan lebih besar
kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan tersebut, dan karena sukses ini,
mempunyai kebolehjadian yang lebih besar untuk mencapai kepuasan yang tinggi
dari dalam kerja mereka.
E.
Komitmen
Organisasi
Menurut
Wiyono (1999: 34), komitmen adalah tekad bulat untuk melakukan sesuatu dengan
niat yang sungguh-sungguh melakukan. Komitmen yang baik adalah komitmen yang
dimulai dari pimpinan. Sedangkan menurut Robbins (2001:140), komitmen pegawai
pada suatu organisasi adalah suatu keadaan di mana karyawan memihak kepada
organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaannya
dalam organisasi itu.
Pendapat
lain dikemukakan oleh Pradiansyah (1999:31) yang menguraikan bahwa komitmen
merupakan konsep manajemen yang menempatkan sumber daya manusia sebagai figur
sentral dalam organisasi usaha. Tanpa komitmen, sukar mengharapkan partisipasi
aktif dan mendalam dari sumber daya manusia. Tapi komitmen bukanlah sesuatu
yang dapat hadir begitu saja. Komitmen harus dilahirkan. Oleh sebab itu
komitmen harus dipelihara agar tetap tumbuh dan eksis disanubari sumber daya
manusia. Dengan cara dan teknik yang tepat pimpinan yang baik bisa menciptakan
dan menumbuhkan komitmen.
Husselid dan Day (McKenna and Nich,
2000: 245) menyatakan bahwa komitmen pegawai dapat mengurangi keinginan untuk
melepaskan diri dari organisasi atau unit kerja. Mereka cenderung menunjukkan
keterlibatan yang tinggi diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Selain itu
pegawai yang menunjukkan sikap komitmennya akan merasa lebih senang dengan
pekerjaan mereka, berkurangnya membuang-buang waktu dalam bekerja dan
berkurangnya kemungkinan untuk meninggalkan lingkungan kerja.
Adanya rasa
keterikatan pada falsafah dan satuan kerja kemungkinan untuk bertahan dalam
satuan kerja akan lebih tinggi ketimbang pegawai yang tidak mempunyai rasa
keterikatan pada satuan kerja. Shadur, Kinzle dan Rodwell (1999: 481)
memberikan pengertian bahwa pegawai yang mempunyai komitmen terhadap satuan
kerja menunjukkan kuatnya pengenalan dan keterlibatan pegawai dalam satuan
kerja yang dinyatakan sebagai berikut: ”Organizational commitment was defined
as the strength of an individual’s identification with and involvement in a
particular organization”. Pegawai yang memiliki komitmen terhadap satuan
kerja kemungkinan untuk tetap bertahan lebih tinggi dari pada pegawai yang
tidak mempunyai komitmen. Menurut Husselid dan Day (McKenna and Nich, 2000:
245) dikatakan bahwa komitmen pegawai dapat mengurangi keinginan untuk
melepaskan diri dari organisasi atau unit kerja. Mereka cenderung menunjukkan keterlibatan
yang tinggi diwujudkan dalam bentuk
sikap dan perilaku. Komitmen organisasi yang tinggi sangat diperlukan dalam
sebuah organisasi, karena terciptanya komitmen yang tinggi akan mempengaruhi
situasi kerja yang profesional. Berbicara mengenai komitmen organisasi tidak
bisa dilepaskan dari sebuah istilah loyalitas yang sering mengikuti kata
komitmen. Pemahaman demikian membuat istilah loyalitas dan komitmen mengandung
makna yang membingungkan. Komitmen organisasi, menurut Alwi, (2001) adalah
sikap karyawan untuk
tetap berada dalam organisasi dan
terlibat dalam upaya-upaya mencapai misi, nilainilai
dan tujuan organisasi. Lebih lanjut
dijelaskan, bahwa komitmen merupakan suatu bentuk loyalitas yang lebih konkret
yang dapat dilihat dari sejauh mana karyawan mencurahkan perhatiasn, gagasan,
dan tanggung jawab dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
Robbins,
(1998) berpendapat bahwa komitmen organisasi adalah sampai tingkat mana
seseorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya,
dan berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi itu. Komitmen organisasi
yang tinggi berarti terdapat kepemihakan kepada organisasi yang tinggi pula.
Komitmen sebagai prediktor kinerja seseorang merupakan prediktor yang lebih
baik dan bersifat global, dan bertahan dalam organisasi sebagai suatu
keseluruhan daripada kepuasan kerja semata. Seseorang dapat tidak puas dengan
pekerjaan tertentu dan menganggapnya sebagai kondisi sementara, tapi tidak puas
terhadap organisasi adalah sebagai suatu keseluruhan, dan ketidakpuasan tersebut
bila menjalar ke organisasi, dapat mendorong seseorang untuk
mempertimbangkan diri minta berhenti
Menurut
Luthans (2002: 236) bahwa sebagai suatu sikap, komitmen organisasi merupakan
suatu hasrat atau motif yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi; suatu
keinginan untuk menunjukkan usaha tingkat tinggi atas nama organisasi; dan
keyakinan yang kuat dalam menerima nilai-nilai dan tujuan-tujuan organisasi.
Lebih lanjut Reichers (Greenberg and Baron, 1997: 191) menyatakan bahwa ada dua
motif yang mendasari seseorang untuk berkomitmen pada organisasi atau unit
kerjanya, antara lain:
a.
Side-Best
Orientation
Side-Best Orientation ini memfokuskan pada akumulasi dari kerugian yang di alami
atas segala sesuatu yang telah diberikan oleh individu pada organisasi apabila
meninggalkan organisasi tersebut.
b.
Goal-Congruence
Orientation
Memfokuskan
pada tingkat kesesuaian antara tujuan personal individu dan organisasi sebagai
hal yang menentukan komitmen pada organisasi. Berdasarkan beberapa teori di
atas dapat disimpulkan bahwa komitmen merupakan suatu keadaan di mana karyawan
memihak dan peduli kepada organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta
berniat memelihara keanggotaannya dalam organisasi itu. Bentuk keterpihakan dan
kepedulian karyawan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti
terlibat dalam kegiatan organisasi, berkurangnya membuang-buang waktu dalam
bekerja dan berkurangnyakemungkinan meninggalkan lingkungan kerja.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi
Menurut
Angle dan Perry (Temaluru, 2001: 458), komitmen terhadap organisasi dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni masa kerja (tenure) seseorang
pada organisasi tertentu. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Makin
lama seseorang bekerja pada suatu organisasi, semakin memberi ia peluang untuk
menerima tugas-tugas yang lebih menantang, otonomi yang lebih besar,
keleluasaan bekerja, tingkat imbalan ekstrinsik yang lebih tinggi, dan peluang
menduduki jabatan atau posisi yang lebih tinggi.
2.
Makin
lama seseorang bekerja pada suatu organisasi, peluang investasi pribadi
(pikiran, tenaga, dan waktu) untuk organisasi semakin besar; dengan demikian,
semakin sulit untuk meninggalkan organisasi tersebut.
3.
Keterlibatan
sosial individu dalam dengan organisasi dan masyarakat di lingkungan organisasi
tersebut semakin besar, yang memungkinkan memberikan akses yang lebih baik
dalam membangun hubungan-hubungan sosial yang bermakna, menyebabkan individu
segan untuk meninggalkan organisasi.
4.
Mobilitas
individu berkurang karena lama berada pada suatu organisasi, yang berakibat
kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan lain makin kecil.
Beberapa
karakteristik pribadi dianggap memiliki hubungan dengan komitmen, penelitian
yang dilakukan Mowday, Porter, dan Steers (Temaluru, 2001: 458-460) menunjukkan
bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi komitmen seseorang
terhadap organisasi, diantaranya adalah:
1.
Usia
dan masa kerja. Usia dan masa kerja berkolerasi positif dengan komitmen.
2.
Tingkat
Pendidikan. Makin tinggi tingkat pendidikan individu, makin banyak pula
harapannya yang mungkin tidak dapat dipenuhi atau tidak sesuai dengan organisasi
tempat di mana ia bekerja.
3.
Jenis
Kelamin. Wanita pada umumnya menghadapi tantangan yang lebih besar dalam pencapaian
kariernya, sehingga komitmennya lebih tinggi.
4.
Peran
individu tersebut di organisasi. Hasil studi Morris dan Sherman menunjukkan
bahwa adanya hubungan yang negatif antara peran yang tidak jelas dan komitmen
terhadap organisasi.
5.
Faktor
lingkungan pekerjaan akan berpengaruh terhadap sikap individu pada organisasi.
Menurut Porter dan Mowday (Armstrong, 2004: 100), lingkungan dan pengalaman
kerja dipandang sebagai kekuatan sosialisasi utama yang mempengaruhi komitmen
terhadap organisasi.
Lee
(1987:67) menyatakan bahwa untuk menggerakkan komitmen pegawai yang ada pada
suatu organisasi, maka pihak manajemen/pimpinan organisasi dapat menggunakan
lima faktor pendekatan utama yaitu;
1.
Understanding
employee work value
2.
Communication
job performance standard
3.
Linking
performance to reward
4.
Providing
effective performance evaluations
5.
Offering
support for managers and supervisory
Pendapat
lain dikemukakan oleh Mowday et.al. (Boon dan Arumugam, 2006: 99). Berdasarkan
pendapat Mowday terdapat tiga faktor utama untuk melihat komitmen organisasi
suatu individu, yaitu:
1.
keyakinan dan penerimaan yang kuat oleh
individu terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai organisasi;
2.
kesediaan
untuk berupaya lebih keras demi mencapai tujuan organisasi; dan
3.
keinginan kuat tetap mempertahankan
keanggotaannya dalam organisasi.
Sedangkan
pendapat Allen dan Meyer (1990: 235) mengklasifikasikan komitment
organisasional ke dalam tiga dimensi, yaitu: komitmen afektif (affective
commitment), komitmen continuance (continuance commitment), dan
komitmen normatif (normative commitment). Penjelasan dari ketiga dimensi
komitmen tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Komitmen
afektif (affective commitment) yaitu keterlibatan emosi pekerja terhadap
organisasi. Komitmen ini dipengaruhi dan atau dikembangkan apabila keterlibatan
dalam organisasi terbukti menjadi pengalaman yang memuaskan. Organisasi
memberikan kesempatan untuk melakukan pekerjaan dengan semakin baik atau
menghasilkan kesempatan untuk mendapatkan skill yang berharga.
2.
Komitmen
berkesinambungan (continuance commitment) yaitu keterlibatan komitmen
berdasarkan biaya yang dikeluarkan akibat keluarnya pekerja dari organisasi.
Komitmen ini dipengaruhi dan atau dikembangkan pada saat individu melakukan
investasi. Investasi tersebut akan hilang atau berkurang nilainya apabila
individu beralih dari organisasinya.
3.
Komitmen
normatif (normative commitment) yaitu keterlibatan perasaan pekerja
terhadap tugas-tugas yang ada di organisasi. Komitmen normatif dipengaruhi dan
atau dikembangkan sebagai hasil dari internalisasi tekanan normatif untuk
melakukan tindakan tertentu, dan menerima keuntungan yang menimbulkan perasaan
akan kewajiban yang harus dibalas. Selanjutnya secara singkat Allen dan Meyer
(1990: 236) mengilustrasikan perbedaan dari ketiga dimensi tersebut sebagai
berikut: "Employees with strong affective commitment remain because
they want to, those with strong continuance commitment remain because they need
to, and those with strong normative commitment because they feel they thought
to do so".
Berdasarkan
pendapat Allen dan Meyer tersebut, dapat diinterpretasi bahwa keputusan
seseorang tetap bertahan di organisasi memiliki motivasi yang berbedabeda.
Seseorang dengan komitmen efektif yang
kuat, bertahan di organisasi, karena memang dia menyukai organisasi itu,
sedangkan seseorang dengan komitmen continuance yang kuat bertahan di
organisasi, karena alasan kebutuhan hidup sebagai dorongan utamanya. Sedangkan
seseorang dengan komitmen normatif yang kuat,tetap bertahan di organisasi, karena alasan moralitas. Namun demikian,
apapun sumber komitmen, secara substansial wujud komitmen adalah sama yaitu penerimaan
individu terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai organisasi, kesediaan individu
berupaya untuk mencapai tujuan organisasi, keinginan tetap mempertahankan
keanggotaannya dalam organisasi. Oleh karena itu, pada penelitian
ini wujud dari komitmen
dioperasionalkan sebagai single construct.
Pendapat
lain dikemukakan oleh Pradiansyah (1999:31) yang mengemukakan bahwa dalam
membentuk atau membangun sebuah komitmen, maka harus diperhatikan 5 (lima)
faktor prinsip kunci yakni:
1.
Memelihara
atau meningkatkan harga diri. Artinya pimpinan harus pintar menjaga agar harga
diri bawahan tidak rusak.
2.
Memberikan
tanggapan dengan empati.
3.
Meminta
bantuan dan mendorong keterlibatan. Artinya bawahan selain butuh dihargai
juga ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
4.
Mengungkapkan pikiran, perasaan dan rasional.
5.
Memberikan
dukungan tanpa mengambil alih tanggung jawab.
Prinsip-prinsip
ini mencerminkan falsafah kepemimpinan dimana pimpinan menawarkan bantuan agar
bawahan dapat melaksanakan tugas dengan baik, dan perlu diingat bahwa fungsi
pimpinan hanya membantu, tanggung jawab tetap ada pada masing-masing karyawan.
F.
Hubungan
Antara Gaya Kepemimpinan dengan Komitmen Organisasi
Komitmen
organisasi menurut Maier & Brunstein (2001) merupakan kondisi di mana
karyawan sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai dan sasaran organisasinya.
Sedangkan gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan
tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai tujuan tertentu.
(Heidjrachman dan Husnan, 2002:224). Teori kepemimpinan (Kreitner dan kinichi,
2000) berasumsi bahwa gaya
kepemimpinan seorang manajer dapat
dikembangkan dan diperbaiki secara sistematik. Bagi seorang pemimpin dalam
menghadapi situasi yang menuntut aplikasi gaya kepemimpinannya dapat melalui
beberapa proses seperti: memahami gaya kepemimpinannya, mendiagnosa suatu
situasi, menerapkan gaya kepemimpinan yang relevan dengan tuntutan situasi atau
dengan mengubah situasi agar sesuai dengan gaya kepemimpinannya. Hal ini akan
mendorong timbulnya itikad baik atau komitmen anggota terhadap organisasinya.
Sovyia
Desianty (2005) melakukan penelitian mengenai pengaruh gaya kepemimpinan
terhadap komitmen organisasi pada PT POS Indonesia (Persero) Semarang.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh gaya kepemimpinan terhadap
komitmen organisasi, dengan mengukur pengaruh gaya kepemimpian transformasional
dan kepemimpinan transaksional terhadap komitmen organisasi. Penelitian ini
membuktikan bahwa gaya kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan
transaksional mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap komitmen
oraganisasi. Kepemimpinan transformasional mempunyai pengaruh terhadap
komitmen, terutama dalam memobilisasi komitmen dalam suatu organisasi yang
mengalami perubahan (Noel M. Tichy & David 0. Urlich, 1984). Avolio et
al. (2004) menguji psychological empowerment sebagai mediasi
hubungan kepemimpinan transformational dengan komitmen organisasional. Mereka
juga menguji bagaimana structural distance (kepemimpinan langsung dan
tidak langsung) antara para pimpinan sebagai pemoderasi hubungan antara transformational
leadership dan
komitmen organisasional. Hasil analisanya
menunjukkan bahwa psychological empowerment memediasi hubungan antara transformational
leadership dan komitmen organisasional.
Jean Lee
(2005) menguji pengaruh kepemimpinan dan perubahan anggota pimpinan terhadap
komitmen organisasi. Hasil penelitiannya menemukan bahwa transformational
leadership berhubungan positif dengan dimensi leader-member exchange
(LMX) dan komitmen organisasional. Kualitas LMX juga memediasi hubungan
antara leadership dengan komitmen organisasional.
G.
Hubungan Antara Komitmen Organisasi dengan Kepuasan Kerja
Keberhasilan
dan kinerja seseorang dalam suatu bidang pekerjaan banyak ditentukan oleh
tingkat kompetensi, profesionalisme juga komitmen terhadap bidang yang
ditekuninya. Suatu komitmen organisasional menunjukkan suatu daya dari sesorang
dalam mengidentifikasikan keterlibatan dalam suatu organisasi. Oleh karena itu
komitmen organisasional akan menimbulkan rasa ikut memiliki (sense of belonging)
bagi pekerja terhadap organisasi.
Komitmen
terhadap organisasi artinya lebih dari keanggotaan formal, karena meliputi
sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang
tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan. Sedangkan kepuasan kerja adalah cara
pegawai merasakan dirinya atau pekerjaannya dan dapat disimpulkan bahwa kepuasan
kerja adalah perasaan yang menyokong atau tidak menyokong dalam diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaan
maupun kondisi dirinya. Perasaan
yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspekaspek seperti upaya, kesempatan
pengembangan karier, hubungan dengan pegawai lain, penempatan kerja, dan struktur organisasi.
Seperti yang dikutip
Cahyono dan Imam (2002: 242) dari penelitian Aranya et al. (1982)
menganalisis efek komitmen organisasional dan komitmen profesional pada
kepuasan kerja para akuntan yang dipekerjakan. Dengan menggunakan komitmen
organisasional dan komitmen profesional sebagai prediktor kepuasan kerja,
mereka melaporkan secara statistik adanya suatu korelasi nyata antara komitmen organisasi dan komitmen
profesi dengan kepuasan kerja. Penelitian mengenai
pengaruh komitmen terhadap kepuasan kerja auditor pernah dilakukan oleh Sri Trisnaningsih (2003) dengan memusatkan
penelitian pada kantor akuntan publik di Jawa
Timur. Dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa komitmen organisasional dan komitmen profesional
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
kepuasan kerja auditor.Budi Maryanto (2008) dalam penelitian yang berjudul pengaruh komitmen terhadap kepuasan
kerja auditor dengan motivasi kerja sebagai
variable interveningnya membuktikan adanya pengaruh positif dan signifikan antara komitmen terhadap kepuasan kerja.
H.
Hubungan
Antara Gaya Kepemimpinan dengan Kepuasan Kerja
Perilaku
pemimpin merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi kepuasan
kerja. Menurut Miller et al. (1991) menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan
mempunyai hubungan yang positif terhadap kepuasan kerja para pegawai. Hasil
penelitian Gruenberg (1980) diperoleh bahwa hubungan yang akrab dan saling
tolong-menolong dengan teman sekerja serta penyelia adalah sangat penting dan
memiliki hubungan kuat dengan kepuasan kerja dan tidak ada kaitannya dengan
keadaan tempat kerja serta jenis pekerjaan.
Ramlan
Ruvendi (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Imbalan dan Gaya Kepemimpinan
Pengaruhnya Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan, Di Balai Besar Industri Hasil
Pertanian Bogor”, menyatakan bahwa terdapat hubungan positif dan pengaruh
signifikan antara variabel gaya kepemimpinan dengan kepuasan kerja pegawai
Balai Besar Industri Hasil Pertanian Bogor. Diungkapkan pula bahwa gaya kepemimpinan
yang efektif adalah kepemimpinan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi (contingency).
Indikasi turunnya semangat dan kegairahan kerja ditunjukkan dengan tingginya
tingkat absensi dan perpindahan pegawai. Hal itu timbul sebagai akibat dari
kepemimpinan yang tidak disenangi.
Salah satu faktor yang menyebabkan
ketidakpuasan kerja ialah sifat penyelia yang tidak mau mendengar keluhan dan
pandangan pekerja dan mau membantu apabila diperlukan (Pinder, 1984). Hal ini
dibuktikan oleh Blakely (1993) dimana pekerja yang menerima penghargaan dari
penyelia yang lebih tinggi dibandingkan dengan penilaian mereka sendiri akan
lebih puas, akan tetapi penyeliaan yang terlalu ketat akan menyebabkan tingkat
kepuasan yang rendah (King et al.,1982).
I.
Hubungan
Antara Komitmen Organisasi dengan Kinerja Karyawan
Komitmen
organisasional menunjukkan suatu daya dari seseorang dalam mengidentifikasikan
keterlibatannya dalam suatu bagian organisasi. Komitmen organisasional dibangun
atas dasar kepercayaan pekerja atas nilai-nilai organisasi, kerelaan pekerja
membantu mewujudkan tujuan organisasi dan loyalitas untuk tetap menjadi anggota
organisasi. oleh karena itu komitmen organisasi akan menimbulkan rasa ikut memiliki
(sense of belonging) bagi auditor terhadap organisasi. Jika seorang karyawan merasa jiwanya terikat dengan
nilai-nilai organisasional yang ada maka dia akan merasa senang dalam bekerja,
sehingga kinerjanya dapat terus meningkat. Meyer et al. (1989) menguji hubungan
antara kinerja manajer tingkat atas dengan komitmen affective dan
komitmen continuance pada perusahaan jasa makanan. Hasil penelitiannya
menyatakan bahwa komitmen affective berkorelasi secara positif dengan
kinerja, sedangkan komitmen continuance berkorelasi secara negatif
dengan kinerja. Namun, temuan tersebut berlawanan dengan Somers dan
Bimbaum (1998) mengemukakan bahwa
komitmen organisasional (affective dan continuance) tidak
berpengaruh terhadap kinerja.
Penelitian
dari Harrison dan Hubard (1998) menyatakan bahwa komitmen mempengaruhi outcomes
(keberhasilan) suatu organisasi. Kinerja karyawan dipengaruhi oleh komitmen
organisasi. Karyawan yang mempunyai keterlibatan tinggi dalam bekerja dan tidak
mempunyai keinginan keluar dari perusahaan, maka hal ini merupakan modal dasar
untuk mendorong produktifitas yang tinggi. Pendapa ini didukung oleh Moncreif et
al (1997) yang mengungkapkan bahwa komitmen karyawan terhadap organisasi
yang tinggi akan berpengaruh terhadap kinerja.
Menurut Morrison
(1994, dalam Sitty Yuwalliantin, 2006) komitmen dianggap penting bagi
organisasi karena : (1) pengaruhnya pada turnover, (2) hubungan kinerja
yang mengasumsikan bahwa individu yang memiliki komitmen cenderung
mengembangkan upaya yang lebih besar pada pekerjaan.
Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Benkhoff (1997), komitmen organisasi memegang peranan
penting bagi peningkatan kinerja yang baik dan pengabaian terhadap
komitmen pada organisasi akan
menimbulkan kerugian. Komitmen organisasi merupakan suatu konsistensi dari
wujud keterikatan seseorang terhadap organisasinya. Adanya komitmen yang tepat
akan memberikan motivasi yang tinggi dan memberikan dampak yang positif
terhadap kinerja suatu pekerjaan.
J.
Hubungan
Antara Gaya Kepemimpinan dengan Kinerja Karyawan
Pemimpin
mempunyai tanggung jawab menciptakan kondisi-kondisi yang merangsang anggota
agar dapat mencapai tujuan yang ditentukan. Gaya kepemimpinan menjadi cermin
kemampuan seseorang dalam mempengaruhi individu atau kelompok. Seorang pemimpin
harus mampu menjaga keselarasan antara pemenuhan kebutuhan individu dengan
pengarahan individu pada tujuan organisasi. Pemimpin yang efektif adalah
pemimpin yang mengakui kekuatankekuatan penting yang terkandung dalam individu
atau kelompok, serta fleksibel dalam cara pendekatan yang digunakan demi
meningkatkan kinerja seluruh organisasinya.
Gaya
kepemimpinan dalam perusahaan merupakan hal penting dalam sebuah
era organisasi modern yang menghendaki
adanya demokratisasi dalam pelaksanaan
kerja dan kepemimpinan perusahaan.
Gaya kepemimpinan adalah suatu seni mengerahkan segala sumber daya yang
dimiliki dalam upaya mencapai tujuan dengan setrategi yang disesuaikan dengan
kondisi lingkungan. Akibat yang mungkin timbul dari adanya gaya kepemimpinan
yang buruk adalah penurunan kinerja karyawan yang akan membawa dampak kepada
penurunan kinerja total perusahaan.
Gaya
kepemimpinan (leadership style) merupakan cara pimpinan untuk mempengaruhi
orang lain atau bawahannya sedemikian rupa sehingga orang tersebut
mau melakukan kehendak pimpinan untuk
mencapai tujuan organisasi meskipun secara pribadi hal tersebut mungkin tidak
disenangi. Menurut Alberto et al. (2005) kepemimpinan berpengaruh
positif kuat terhadap kinerja, juga berpengaruh signifikan terhadap learning
organisasi. Temuan ini memberikan indikasi bahwa gaya kepemimpinan seorang
pemimpin sangat berpengaruh terhadap kinerja bawahannya, di samping itu untuk
mendapatkan kinerja yang baik diperlukan juga adanya pemberian pembelajaran
terhadap bawahannya.
Penelitian
dari Ahmad Fadli (2004) mengenai “Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja
Karyawan Pada PT. Kawasan Industri Medan” dan penelitian dari Ari Heryanto
(2002) mengenai “Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Karyawan Dengan
Motivasi Sebagai Variabel Pemoderasi” membuktikan bahwa ecara empiris gaya
kepemimpinan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja
karyawan. Pengaruh yang positif ini menunjukkan adanya pengaruh yang searah
antara gaya kepemimpinan dengan kinerja karyawan, atau dengan kata lain dengan
gaya kepemimpinan baik maka kinerja karyawan tinggi. Sedangkan pengaruh yang
signifikan ini menunjukkan
bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh
nyata (berarti) terhadap kinerja karyawan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil pembahasan mengenai pengaruh gaya kepemimpinan terhadap
kepuasa kerja dan kinerja dengan
komitmen organisasi suatu perusahaan di tarik beberapa kesimpulan. Adapun
kesimpulan dari penelitian ini adalah :
1.
Gaya kepemimpinan berpengaruh positif dan
signifikan terhadap komitmen organisasi karyawan. Pemimpin mampu menjadi
inspirasi dalam dalam bekerja dan menentukan arah dan tujuan organisasi.
Pemimpin mampu menunjukkan kapasitasnya untuk mendelegasikan tanggung jawab
secara cermat serta menanamkan rasa memiliki organisasi yang kuat kepada karyawannya.
2.
Komitmen
organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan.
Komitmen organisasional menunjukkan suatu daya dari seseorang dalam
mengidentifikasikan keinginan, keterlibatan dan keanggotaan seseorang dalam
suatu organisasi.
3.
Gaya
kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja
karyawan
4.
Komitmen
organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan.
5.
Gaya
kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan.
Pemimpin sebagai salah satu penentu arah dan tujuan organisasi diharapkan mampu
mengontrol perilaku-perilaku kerja dan mengarahkannya pada peningkatan
produktivitas dan kinerja karyawan.
DAFTAR PUSTAKA
Arrizal, 2001. “Pemimpin Gaya Kepemimpinan
Transaksional Mencapai Sukses
Melalui Manajemen
Sumber Daya Manusia”. Jurnal Kajian Bisnis. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Widya Wiwaha. No. 22 Januari-April.
Bavendam, J. (2000). “Managing Job Satisfaction”.
Special Report, Vol 6,
Bavendam
Research Incorporated, Mercer Island.http://www. bavendam.com/
Flippo, Edwin B. Masud Moh (alih bahasa),1990.Manajemen
Personalia. Edisi
Keenam.
Jilid Kedua.Jakarta : Erlangga
Ghozali, Imam (2005). Aplikasi Analisis Multivatiate
dengan Program SPSS.
Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., dan Donnelly, J.Jr.
(1984). Organisasi dan
Manajemen: Perilaku,
Sruktur, dan Proses. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Handoko, T.H. (1992), Manajemen Personalia dan
Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta,
BPFE
Heidrajrahcman dan Husnan Suad (2000) “Manajemen Personalia”,
Yogyakarta,
BPFE
Kaihatu, T.S., Rini, W.Astjarjo (2007),
“Kepemimpinan Transformasional dan
Pengaruhnya
Terhadap Kepuasan atas Kualitas Kehidupan Kerja, Komitmen
No comments:
Post a Comment